Bahagia
itu Dekat dengan Kita, Ada dalam Diri Kita
Judul : Tasawuf Moderen
Penulis : Prof. DR. HAMKAPenerbit : Republika Penerbit
Cetakan : Pertama
Jumlah Halaman
: 377 halaman Tahun Terbit : Maret 2015
“Berbagailah yang timbul ketika memberi keputusan. Ada
yang mengatakan baik, sebab sayang. Ada yang mengatakan buruk, sebab benci.
Berbagai ragam keputusan menurut pengalaman, ilmu, dan penyelidikan. Bahagia
dan celaka itu hanya berpusat kepada sanubari seseorang, bukan pada zat barang
yang dilihat. Bagi orang masuk bui menjadi kecelakaan dan kehinaan, bagi
setengahnya pula, menjadi kemuliaan dan kebahagiaan”.
Buku ini tidak hanya menguraikan tentang tasawuf saja, buku
ini tetap relevan dengan kehidupan sekarang,
meski sudah ditulis puluhan tahun yang lalu. Topik yang dibicarakan tentang bahagia tidak pernah selesai
diperbincangkan, dan selalu diwujudkan oleh siapapun, dimanapun, dengan cara
apapun dan kapanpun. Bila disebut
tasawuf, sebagian besar masyarakat akan memahaminya sebagai hidup menjauh dari
dunia dan lebih fokus ke akhirat. Kekayaan dijauhi. kekuasaan diabaikan. Hidup
sepenuhnya untuk beribadah. Pemahaman seperti ini bisa dipahami mengingat pada
awal munculnya, para pengamal tasawuf, dikenal sebagai sufi, memilih untuk
menjauh dari dunia, menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan
beribadah. Bagi mereka bahagia itu ketika merasakan kehadiran Allah.
Tasawuf dalam buku ini tidaklah dimaknai seperti itu. Buya Hamka memaknai tasawuf sejalan dengan al-Junaid al-Baghdadi yang mengartikan tasawuf sebagai, “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk ke budi pekerti yang terpuji.Inilah tujuan awal hadirnya tasawuf yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi dengan menekan segala kelobaan dan kerakusan. Dengan pemahaman seperti ini, bagi Hamka tidak ada yang salah dengan bekerja keras dalam mengumpulkan harta atau berupaya tanpa kenal lelah untuk menggapai kuasa. Justru ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong ummatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam hidup.
Namun, jangan salah menempatkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia ditempatkan sebagai jalan, bukan tujuan. Dalam menggapai bahagia misalnya, kekayaan adalah jalan, bukan kebahagiaan itu sendiri. Perjalanan kita di dunia ibarat pelayaran kapal yang singgah di sebuah pulau yang indah. Namun, sejak awak nakhoda sudah mengingatkan bahwa izin turun hanya untuk beristirahat sejenak. Silakan melihat-lihat, tapi jangan lalai bila datang panggilan hendak melanjutkan pelayaran.
Setengah orang,
diikutinya perintah nakhoda itu, dia turun ke daratan, mengambil barang-barang
sekadar yang berguna, tidak membuang-buang tempo, setelah selesai dia pun
kembali ke kapal. Setengahnya lagi terpedaya dan terlambat naik, sehingga
tempat duduknya telah digantikan orang lain.
Adapun sebagian pula, dan inilah yang terbesar, lalai dan lengah, terpedaya, lupa bahwa perjalanannya masih jauh.
Tertarik dia dengan keindahan yang ada di pulau itu, sehingga disangkanya tidak ada lagi keindahan dan kecantikan sesudah itu. Telah berkali-kali lonceng berbunyi menyuruh naik ke kapal, dia masih acuh tak acuh. Tiba-tiba datang masa dan waktunya, kapal membongkar sauhnya dan mereka tertinggal dalam pulau itu.
Adapun sebagian pula, dan inilah yang terbesar, lalai dan lengah, terpedaya, lupa bahwa perjalanannya masih jauh.
Tertarik dia dengan keindahan yang ada di pulau itu, sehingga disangkanya tidak ada lagi keindahan dan kecantikan sesudah itu. Telah berkali-kali lonceng berbunyi menyuruh naik ke kapal, dia masih acuh tak acuh. Tiba-tiba datang masa dan waktunya, kapal membongkar sauhnya dan mereka tertinggal dalam pulau itu.
Agar tidak salah langkah saat dalam mengarungi dunia, agama harus menjadi
pijakan. Hidup dengan berpedoman pada agama itulah jalan kebahagiaan
sejati. Kaya atau miskin, penguasa atau rakyat jelata, sukses atau gagal tidak
menghalanginya untuk hidup bahagia. Karena baginya, semuanya merupakan jalan
untuk menggapai kebahagiaan sejati di akhirat nanti.
Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1939. Mulai ditulis sejak pertengahan 1937 dan dimuat di majalah Pedoman Masyarakat. Meskipun demikian, pesan-pesan yang disampaikan buku ini tetap relevan walau generasi telah berganti, zaman telah berubah.
Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1939. Mulai ditulis sejak pertengahan 1937 dan dimuat di majalah Pedoman Masyarakat. Meskipun demikian, pesan-pesan yang disampaikan buku ini tetap relevan walau generasi telah berganti, zaman telah berubah.
Dalam buku ini penulis lebih menekankan pada pembersihan jiwa, mendidik
dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala kelobakan dan kerakusan
memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk kesejahteraan diri sehingga
mendorong pembaca untuk terus muhasabah diri.
Tetapi, pada buku karangan Prof. Dr. Hamka ini masih menggunakan bahasa
yang tidak efektif sehingga mebuat pembaca lumayan sulit untuk memahami isi
buku tersebut. Selain itu pada buku ini ada hadis yang tidak di tuliskan sanad
dan yang merawikannya sehingga menyulitkan pembaca untuk membedakan antara
hadis yang shahih dan hadis yan dhaif.
Buku ini adalah buku yang sangat menginspirasai, penuh dengan makna lembar
demi lembar bukunya. Kita tidak akan jenuh membaca buku ini walaupun topiknya
sangat berat. Buku ini memberikan banyak manfaat bagi para pembacanya, karena
buku ini mengajak para pembacanya mengenal dirinya sendiridan tuhannya.
Oleh: Wati Lestari, Siti Nafiatul Faoziah, arini Eka Nastiti, Adil Syahputra ( Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar